Vaelith

Langit sore Chronopolis Flux berkilau sejuk, memantulkan cahaya simulasi visual yang mempesona. Di balik gemerlap itu, hati Vaelith tergerak oleh suara-suara yang jarang didengar: keluhan dan harapan dari warga zona glits.

Matanya menatap jauh ke horizon, saat bayang-bayang masa lalu menyelinap pelan di benaknya. Pesan neneknya yang dulu berkata: “Ingatlah, kemajuan tanpa keadilan hanyalah ilusi waktu.”

Dalam kilas balik singkat, Vaelith teringat malam-malam larut cerita neneknya tentang ketimpangan zaman, perjuangan warga yang sering terabaikan oleh gemerlap kota futuristik ini.

Ingatan itu menuntunnya ke siapa dirinya, seorang gadis sederhana yang tumbuh di jantung Chronopolis Flux. Vaelith, 22 tahun, lahir dan besar di kota virtual itu. Rambut cokelatnya yang bergelombang jatuh manja di bahunya. Matanya yang hijau cerah memancarkan rasa ingin tahu yang tak terbatas dan tak pernah padam.

Matanya bagai jendela ganda. Satu menatap penuh keyakinan ke masa depan, yang lain seakan menyelami kedalaman masa lalu, dengan pertanyaan tentang arti waktu, makna hidup, dan tempatnya dalam arus kehidupan totalitasnya yang terus bergerak.

Di lehernya tergantung kalung putih yang sederhana, pusaka warisan neneknya, seorang sejarawan holografik yang mendokumentasikan evolusi kota.

Terkadang, di tengah gemerlap kota yang berkelap-kelip dari jendela apartemennya, pikirannya teringat pesan sang nenek: “Meskipun dunia berlari cepat, jangan pernah lupa siapa dirimu.”

Neneknya mengajarkan bahwa waktu bukanlah deretan detik, melainkan aliran yang menghidupi setiap tawa dan air mata. Pesan itu menjadi jangkar dalam kesehariannya.

Penampilannya yang elegan serta bersahaja, memancarkan kepribadian ramahnya. Kaos merah yang mencolok dan jeans hitamnya membangkitkan aura gelora jiwanya. Sepatu kets putihnya siap menapaki setiap sudut kota yang terus berbentuk ulang dengan tantangan dan inspirasi baru.

Vaelith

Sadar akan beban yang harus ditanggungnya, langkahnya membawanya ke Taman Merdeka, tempat di mana suara-suara itu mengalir deras.

Dialog panas di Taman Merdeka hari itu diselimuti ketegangan. Terdengar keluhan warga glits yang merasa seperti bayangan gelap di tengah kota holografik yang megah.

Seorang lelaki tua berkata, “Kami di sini hidup dengan koneksi yang tersendat. Gelas tradisional hasil tanganku mubasir bertumpuk, tidak laku. Para elit hanya membeli produk bermerek. Kesempatan UMKM semakin sempit, sementara para elit membangun dunia mereka sendiri di atas langit untuk Multinasional!”

Metis, seorang emak-emak dengan mata lelah penuh pilu, duduk bersama putrinya sambil menatap layar tablet anaknya, yang sinyalnya terputus-putus.

Emak-emak itu menambahkan, “Anak saya tak punya akses yang layak untuk belajar, bahkan untuk bermimpi, seperti mereka yang tinggal di kota. Apa artinya kemajuan jika cuma untuk segelintir elit?”

Mendengar keluhan itu, pikirannya larut dalam gagasan Bergson. Bagi warga glits, waktu terasa lambat dan tertinggal, sementara di pusat kota, waktu berlari kencang.

“Apa artinya kemajuan sedangkan mereka tak tersentuh? Apakah teknologi benar-benar membawa kita pada kehidupan asli, atau justru menjauhkan dari makna kemanusiaan?” gumannya lirih.

Suaranya tenang dan tegas saat berbicara, sambil mengambil napas dalam di tengah kerumunan warga.

“Teknologi bukan musuh kita, melaikan cermin dari pilihan kita sendiri. Mau kita biarkan jurang ini makin dalam? Atau kita seberangi bersama?”

Sinar matanya hangat menyapu kerumunan, dalam hening.

“Jika kita kehilangan kemanusiaan, itu karena kita membiarkannya pergi.”

Kalimat itu bergema, menembus keheningan, membuat mereka yang hadir menunduk dan merenung.

Kegelisahan yang mendalam tentang dominasi elit dan peluang yang tak merata merayap di pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa diusir.

Setelah diskusi, ia berjanji bersama aktivis Cyber Alert dari zona glits untuk membuat platform pembelajaran gratis untuk anak-anak di zona glits.

Janji itu bukan sekadar wacana; dalam karya dan aksinya, tekadnya tercermin. Sebagai desainer hologram lepas, Vaelith menciptakan dunia virtual yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga menyusupkan kesadaran kolektif ke dalam detailnya.

Di sebuah festival seni, karyanya berjudul “Élan Vital dalam Piksel” membuat banyak pengunjung terhenyak. Mereka melihat potongan ingatan pribadi yang berpadu dengan memori kolektif kota, berdetak seperti denyut nadi kosmik.

Persembahan itu menjadi pembicaraan karena pesona visualnya yang memukau. Karyanya membangkitkan rasa kolektif yang hidup di jiwa setiap warga Chronopolis Flux, seperti nyala api kecil yang menyulut hangatnya kebersamaan.

Meski terlahir di tengah kemajuan teknologi dan sistem algoritma yang mengatur gerak kota, Vaelith punya jiwa pemberontak. Sering kali melarikan diri ke Zona Spontanitas. Kadang sengaja mematikan protokol smart-city, mengubah mural holografik menjadi grafiti digital yang menggugah warga kota dan glits.

Chronopolis Flux memberinya kebebasan, kreativitas, dan kelimpahan. Di saat yang sama terasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ditemukan dalam tembok holografik kota.

Pernah suatu kali, dia memanjat Menara Memori dan mendadak terangkat oleh tangga spiral menuju puncak kota. Dari sana, mata hijaunya memandang cahaya kota yang membentang luas, seperti galaksi hidup yang merangkul malam.

Di kejernihan cahaya itu juga menyelinap bayangan gelap yang membuat hatinya bergetar, bayangan ketimpangan dan keterasingan zona glits yang tersembunyi di balik kegemerlap kota.

Setiap kali jemarinya menyentuh kalung putih pemberian neneknya, terasa getaran halus, seolah benda kecil itu menyimpan pintu rahasia menuju dunia yang lebih nyata dan intens.

Vaelith adalah pribadi penuh paradoks. Di tengah kilauan algoritma kota, ia setia menyimpan pesan sang nenek dalam ingatannya, menjadi penghubung yang meretas batas antara tradisi yang hampir lenyap dan kecanggihan masa depan.

Malam itu, angin berhembus tenang dari jendela apartemen. Di tangannya, kalung putih bergetar pelan, mengingatkan satu hal: bahwa dalam keheningan pun waktu terus mengalir untuk dipahami dan akan mengubah arah hidupnya.

Selamanya.