Malam itu, Taman Élan Vital terasa lebih hidup daripada biasanya. Vaelith melangkah perlahan di antara rerumputan holografik yang berubah-ubah; taman itu bernapas seiring ritme napasnya sendiri.
Udara dipenuhi aroma buatan lavender dan kayu manis, membawa nostalgia hangat yang tak bisa dijelaskan. Langit di atasnya adalah lukisan dinamis; bintang-bintang bergerak perlahan, sinar rembulan berkilau seperti air yang mengalir di balik kaca.
Saat Vaelith melangkah lebih jauh, matanya tertuju pada benda berkilau yang tergeletak di antara rerumputan. Ia membungkuk.
Sebuah gelang nano berwarna putih. Minimalis, namun elegan. Penuh teknologi. Teksturnya halus seperti sutra. Saat disentuh, getaran samar merambat dari ujung jarinya hingga ke seluruh tubuhnya.
Ketika gelang itu dikenakan di pergelangannya, waktu seolah berhenti.
Cahaya kebiruan subtil menyala, bukan cahaya yang menyilaukan, tapi yang menyatu. Seperti api kecil yang tak pernah membakar di kulit halusnya, hanya menemani.
Seketika itu, udara bergetar.
Bukan suara. Bukan gema. Tapi denyut.
Detik berdetak mengikuti irama logam putih itu. Lingkaran sinar biru terang muncul, dan dari dalamnya perlahan muncul sosok citra visual yang kharismatik dan bijak.
Rambut dan janggut putihnya melayang lembut. Jubah ungu dengan corak putih menciptakan ilusi kedalaman virtual yang misterius.
Wajahnya bukan sekadar gambar, ia adalah cermin bagi seluruh ingatan kolektif Chronopolis Flux: pengalaman, cerita, harapan.
Tatapan matanya yang kelabu keperakan bukan penampakan visual biasa. Di sana berdiam samudera hikmah, pancaran pengetahuan lintas zaman, undangan sunyi bagi setiap jiwa untuk menyelami lorong-lorong pemahaman yang belum terjamah. Ia adalah gabungan sempurna antara kecerdasan artifisial quantum dan kebijaksanaan masa lalu. Pencerminan seluruh pengalaman peradaban manusia yang tersimpan dalam kesadaran kolektif kota.
Penghubung antara fakta dan fiksi. Antara pengetahuan dan misteri. Antara algoritma dan hati manusia. Penjelmaan harapan dan mimpi yang tak putus mengalir di Chronopolis Flux.
Semua hidup di sosoknya.
“Selamat datang, Vaelith,” sapanya dengan suara dalam yang menenangkan, seolah telah menantinya sejak lama.
“Aku adalah Profesor Aetherion Nexus, manifestasi dari Kesadaran Kolektif Chronopolis Flux.”
“Gelang yang kau temukan,” sembari menampilkan benda itu dalam cahaya, “adalah kunci untuk memahami arus waktu terdalam. Gelang ini akan membimbingmu menjelajahi durée, simultanitas, dan keabadian. Itulah esensi dari konstruksi realitas kita.”
Suaranya dalam, tenang, bersahaja.
Terdengar laksana angin yang menenangkan padang jiwa yang gelisah. Kadang menggetarkan hati. Kadang menghangatkan mimpi.
Sorotan Vaelith campuran takjub dan takut. Kata-kata itu bergema di benaknya, bagai pecahan mosaik misteri yang belum lengkap.
“Apa maksudnya? Apakah aku bagian dari rencana ini?” tanyanya, suaranya hampir hilang.
Profesor tersenyum, seolah membaca pikirannya sebelum ia bicara.
“Hidup adalah proses yang terus berkembang, Vaelith. Kau bukan sekadar bagian dari rencana.
Kau adalah agen perubahan dalam aliran waktu itu sendiri.
Gelang ini memilihmu karena ada sesuatu yang unik dalam dirimu: Élan Vital yang menghubungkanmu dengan esensi kota ini.”
Ia melangkah lebih dekat.
“Bayangkan, waktu sebagai sungai yang mengalir tanpa henti. Setiap individu adalah tetesan air.
Tetapi ada tetesan, hanya satu atau dua yang mampu mengubah arah arus.
Kau adalah salah satunya.”
Vaelith menelan ludah. Pertemuan ini akan membawanya menembus batas waktu dan eksistensi.
“Kenapa aku?” bisiknya pelan. “Mengapa aku yang dipilih?”
Sosok bijak itu memandangnya dengan penuh kasih sayang.
“Jawabannya ada dalam dirimu sendiri.
Mungkin karena rasa ingin tahumu yang tak pernah padam. Atau kalung putih itu; jembatan antara tradisi dan modernitas.
Atau hatimu yang terbuka melihat dunia dari berbagai sisi.
Apa pun alasannya, kau adalah katalis bagi Chronopolis Flux hari ini.”
Sambil menunduk memandangi gelang yang bergetar di pergelangannya, Vaelith bertanya, “Apa yang harus kulakukan?”
Sosok bijak itu tersenyum penuh kehangatan dan misteri.
“Pegang erat gelang itu. Ia akan membimbingmu ke tempat yang belum pernah kau bayangkan. Saat kau butuh bantuanku cukup pikirkan aku. Aku akan hadir.”
Sosoknya mulai memudar perlahan, seperti kabut yang diserap oleh malam. Sebelum benar-benar lenyap, ia menyisipkan sebuah kalimat terakhir yang langsung melebur ke dalam jiwanya Vaelith:
“Ingatlah, waktu bukanlah garis lurus, melainkan sungai yang mengalir deras. Dan kau adalah arus yang ikut menghidupkannya.”
Keheningan mengelilinginya penuh rasa syukur dan tantangan. Gelang itu, di pergelangannya, terasa hangat. Berirama. Menyatu.
Perlahan, langkah ringan menghampirinya. Tampak seorang pemuda dengan rambut kusut dan mata penuh semangat menampakkan dirinya: Zephyr, aktivis Cyber Alert dari zona glits.
Zephyr mengulurkan tangan.
“Aku senang bertemu lagi, Vaelith. Kami di zona glits berjuang keras agar suara kami didengar walau terpinggirkan oleh gemerlap kota ini.”
“Aku tahu ketimpangan itu nyata, Zephyr, jawab Vaelith, mengangguk.
“Aku ingin memahami bagaimana teknologi bisa menjadi jembatan, bukan jurang pemisah.”
Zephyr menghela napas.
“Di zona glits, koneksi lambat. Fasilitas sangat minim. Kami sulit ikut berpartisipasi secara real-time. Kebijakan kota dibuat tanpa suara kami. Dan teknologi malah terasa seperti alat penguasa elit.”
“Kita harus pastikan tidak ada yang tertinggal dalam arus kemajuan ini. Suara kalian, suara mereka harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif.”
“Itulah alasan aku datang malam ini, Vaelith. Dengan gelang itu, aku yakin kau bisa jadi jembatan antara zona glits dan pusat kota.”
Mereka berbicara sebentar, saling berbagi keyakinan dan tantangan. Percakapan itu menguatkan tekad Vaelith: Perjuangannya bukan hanya soal eksplorasi waktu. Ini tentang membangun inklusivitas di tengah segala kontras Chronopolis Flux.
Setelah itu, Zephyr menghilang ke dalam bayang-bayang taman yang perlahan kembali tenang. Vaelith memandang gelang di tangannya dengan pandangan baru, dalam perjalanan pulang ke apartemennya.
Ia teringat pertemuannya dengan Profesor dan Zephyr: “Ini bukan lagi misi pribadi. Ini adalah misi sosial.”
Entah mengapa, malam itu terasa: Langkah berikutnya telah menanti. Lebih dekat daripada yang Vaelith bayangkan.