Chronopolis Flux bukan sekadar sebuah kota biasa. Entitas itu adalah makhluk hidup yang terus berdenyut dan berubah, seperti sebuah orkestra cahaya dan waktu yang melaju tanpa henti.
Setiap detik di kota ini mengikuti semua perasaan dan ingatan warganya. Bangunan-bangunan di Chronopolis Flux bukan dibuat sekali untuk selamanya. Mereka tumbuh dan berubah, layaknya makhluk hidup yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan suasana hati penghuninya.
Bayangkan: jendela apartemenmu hidup. Di pagi hari jendelanya berubah menjadi pemandangan hamparan rumput hijau yang bergoyang oleh angin virtual. Saat siang hari, berubah menjadi ombak lautan yang menenangkan. Pada malam hari, langit penuh bintang holografik yang turun menyelimuti ruangan, membawa kehangatan seperti alam semesta di dalam rumahmu.
Kota ini merefleksikan bagaimana teknologi menyentuh hati manusia. Ribuan sensor tersebar di udara dan bangunan, membaca getaran emosi setiap warga -seperti detak jantung dan napas- untuk menyesuaikan suasana. Jika seorang warga merasa gelisah, lampu meredup, musik berubah menjadi tenang, bahkan tanaman kecil bisa 'tumbuh' mendadak di trotoar sebagai hadiah kejutan.
Transportasi di Chronopolis Flux adalah puisi waktu dan ruang yang hidup. Jalanan muncul dan lenyap mengikuti ritme kota, sementara mobil-mobil melayang melewati lapisan sejarah.
Teknologi Warp Quantum memungkinkan setiap orang berkelana menembus berbagai era dalam hitungan detik.
Seorang anak muda mungkin memulai perjalanan dari distrik modern yang gemerlap, melewati lorong zaman yang memperlihatkan bayangan peradaban kuno di kehidupan kerajaan Majapahit, dan akhirnya tiba di pusat kota yang penuh dengan inovasi abad ke-22. Bagaikan meditasi tanpa doa: tubuhmu bergerak melewati waktu, dan hatimu menyentuh nafas nenek moyangmu.
Perjalanan itu bukan sekadar mobilitas fisik, tetapi juga pengalaman spiritual yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Seluruh kota memiliki Taman Merdeka, tempat warga bebas berdiskusi. Suatu hari, mereka membahas penemuan artefak batu berusia 1 hingga 1,48 juta tahun di Situs Calio, Sulawesi Selatan.
Mereka bertanya, “Mengapa penemuan itu penting? Manusia purba (hominin purba) telah membuktikan terampil membuat alat pemotong dari batu rijang dan mampu menyeberangi laut mencapai pulau Sulawesi pada zamannya?”
Di pusat kota berdiri Taman Élan Vital, taman holografik terbuka tempat kreativitas warga berkumpul. Ruang yang bisa berubah secara instan sesuai energi warga dan tumbuh sesuai denyut waktu. Di sanalah festival proyeksi cahaya besar digelar.
Tari tradisional Berjenjang ditampilkan di panggung orkestra virtual besar. Bahkan cerita rakyat Malin Kundang bisa diwujudkan sebagai film animasi yang mengambang di angkasa, diproyeksikan oleh ratusan drone dan hologram penunjangnya, yang mengajak anak-anak menyelami masa lalu umat manusia.
Chronopolis Flux juga memberikan ruang bagi kebebasan warganya melalui Zona Spontanitas. Di sinilah algoritma dimatikan. Semua warga bebas berkarya dan berkreasi tanpa kendali sistem. Seniman jalanan melukis mural holografik yang hidup, berubah wujud, dan menebar keindahan dari spontanitas dan kreativitas murninya.
Mahakarya Chronopolis Flux adalah Menara Memori: monumen imersif yang menyimpan sejarah dalam bentuk pengalaman hidup dan Kolektif Kesadaran.
Menariknya, memori di Menara itu tidak statis: setiap orang yang masuk akan mendapatkan pengalaman berbeda. Menara itu menyesuaikan emosi, latar belakang, sesuai dengan sejarah, rasa, dan perspektif masing-masing.
Dalam sunyi malam, Vaelith pernah menelusuri lorong-lorong Menara. Sebuah pesan tersembunyi muncul di hadapannya: “Sejarah tidak selalu jujur. Ada yang harus dilindungi, ada yang harus dihapuskan.”
Apa yang sebenarnya disembunyikan dari ingatan kolektif kota? tanyanya dalam hati.
Jantungnya berdegup kencang, merasakan sesuatu yang getir. Tak disangka bermunculan kilauan yang membawanya pada peristiwa berdarah 1965, ketika banyak orang dituduh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Suara-suara miris orang-orang dibantai, dipenjara tanpa proses dan di paksa hilang. Sejak saat itu Vaelith menyadari, hilangnya ide-ide progresif yang dieliminasi oleh junta militer Suharto hingga ke akar-akarnya. Wajah-wajah generasi berikutnya yang hidup hampa dengan amnesia akan evolusi sejarah modern bangsanya sendiri.
Setelah keluar dari Menara Memori, Vaelith duduk lama termenung di tangga bawah. Tangannya gemetar, sambil memandang cahaya pilu berkilauan yang menemani dirinya.
Cahayanya menyelimuti pusat kota, menyelinap rasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal di balik semua itu. Gema hati yang nyaris tak terdengar dan rintihan yang terpinggirkan.
Di tengah gemerlap gedung tinggi dan teknologi mutakhir quantum, ada kenyataan lain.
Ironisnya, untuk menikmati semua itu tidak merata. Warga elit memiliki lebih banyak kesempatan mengunjungi dan memanfaatkan teknologi ini dibanding mereka yang tertinggalkan.
Ada kawasan yang disebut glits: zona dengan ketersediaan koneksi digital yang rapuh, infrastruktur yang minim, dan akses ke dunia maya menjadi mimpi yang jarang terwujud.
Warga di zona glits tidak bisa menikmati kemewahan teknologi seperti di pusat kota. Mereka terpinggirkan dari aliran informasi dan kesempatan yang dimiliki oleh elit penguasa teknologi.
Ketimpangan ini menciptakan jurang sosial yang nyata. Sementara sebagian menikmati kenyamanan citra virtual dan jaringan pintar, sebagian lain berjuang melawan keterbatasan akses yang membuat mereka terasa diabaikan dan tersisih dengan rasa kekhawatiran akan kehilangan suaranya dalam keputusan-keputusan penting kota secara real-time.
Chronopolis Flux seperti kanvas hidup bagi sejarah dan kebebasan warganya. Tempat yang melampaui ruang dan waktu, yang menjadi satu pada saat itu juga.
Ini mengingatkan bahwa masa lalu bukanlah museum kaku. Tetapi bagian dari arus waktu yang hidup bersama kita, dan pada saat ini juga kita menyelaminya.
Di Chronopolis Flux, manusia belajar bahwa teknologi bukan sekadar alat melainkan teman sejati dalam merayakan misteri waktu dan makna hidup, walaupun perjalanan itu belum merata bagi semua orang.