Ruangan virtual di sekitar Vaelith bergetar, bertransformasi menjadi kosmos bercahaya. Cahaya holografik berdenyut seperti denyut nadi semesta, membentuk pola fraktal rumit, seolah semesta menyingkapkan wajahnya yang tersembunyi.
Profesor Aetherion mengangkat tangan.
“Vaelith, untuk memahami realitas paralel, kita harus masuk lebih dalam ke inti mekanika quantum.”
Hologram pertama menampakkan eksperimen dua celah. Partikel ditembak, melewati celah sempit, menciptakan pola interferensi gelombang.
Cahaya holografik berkedip, berlapis-lapis.
“Lihat,” kata Profesor, suaranya datar menyihir, “sebuah partikel bisa melewati dua jalur sekaligus. Inilah superposisi. Sebelum diamati, situasi itu bukan hanya satu kemungkinan, melainkan semua kemungkinan sekaligus.”
Vaelith menatap bingung, terpukau.
“Bagaimana mungkin sesuatu ada di dua tempat dalam waktu yang sama?”
“Itulah paradoks quantum,” jawab Aetherion.
Hologram berganti, seekor kucing holografik duduk dalam kotak: hidup dan mati dalam waktu bersamaan, sampai ada yang membuka kotaknya.
Vaelith bergidik, antusias.
“Tak masuk akal, tapi memikat.”
“Dan dari sinilah lahir gagasan dunia paralel,” lanjut Profesor.
Dengan melambaikan tangan, sosok bijak itu menciptakan pohon holografik bercabang tak hingga. Setiap cabang berkilau: satu dengan cahaya lembut, satu lagi redup, jutaan bercabang hingga tak terlihat ujungnya.
“Setiap pengamatan, setiap pilihan, menciptakan cabang realitas. Dalam satu, kucing hidup. Dalam cabang lain, kucing mati. Begitu pula denganmu. Dalam satu percabangan, kau memilih maju; di percabangan lain, kau mundur. Semua versi itu eksis.”
Hologram kemudian menyorot sebuah cabang khusus yang berbeda rupa, dunia paralel yang jauh dari gemerlap dan keindahan utama Chronopolis Flux.
Di cabang ini, batas sosial semakin melebar dengan tajam. Penduduk glits terlihat terperangkap dalam kondisi stagnan dan peluang yang minim.
Gedung-gedung mereka gelap, usang dan kumuh, koneksi data sering terputus.
Harapan berbatas dengan ketidakpastian.
Dunia ini adalah bayangan realitas utama, di mana jurang kesenjangan tidak hanya fisik tetapi juga sosial dan spiritual semakin menganga.
Vaelith menatap hologram sedih, terharu.
“Ini dunia yang sama, bahkan berbeda. Sebuah batas yang memisahkan yang bersinar dari yang terpinggirkan dan terlupakan.”
Profesor menjawab dengan suara penuh keprihatinan.
“Demikianlah rupa sisi gelap cabang realitas paralel, Vaelith. Bila kemajuan teknologi tidak disertai inklusi sejati, maka garis pemisah antara ‘yang punya’ dan ‘yang tak berdaya’ malah melebar tanpa ampun. Orang-orang di zona glits tak hanya terjebak oleh infrastruktur terputus, selain itu juga kehilangan akses pada pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berpartisipasi dalam arus utama masyarakat.”
“Ini bukan cuma soal teknologi,” lanjutnya. “Ini tentang keadilan, tentang kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari masa depan.”
Vaelith menyentuh gelangnya yang redup memudar.
“Kalau begitu, bagaimana aku tahu pilihan yang kuambil di sini adalah yang terbaik? Kalau aku bisa saja menjadi banyak ‘Vaelith’ di cabang yang berbeda?”
Profesor mendekat, tatapannya lugas.
“Kuncinya ada di kenyataan yang sedang kau jalani. Kendali hanya ada di versi-dirimu yang memilih saat ini. Dirimu di cabang lain tidak bisa kau kendalikan. Itulah keindahan sekaligus tanggung jawab waktu: kehendak bebas berarti memaknai cabang yang kau hidupi sekarang.”
Hologram berganti, menampilkan dua versi Vaelith: satu tersenyum dalam cahaya fajar, satu lagi menunduk pilu di bawah hujan deras.
“Sekecil apapun pilihanmu,” ujar Profesor, “apakah hanya menyapa orang asing, atau memilih warna pakaian. Kamu menyalakan percikan realitas lain. Jangan terbebani oleh ‘apa yang terjadi di luar sana’. Fokuslah pada ‘apa yang bisa kau lakukan di sini saat ini’. Inilah makna kebebasan di tengah cabang tak terhingga.”
Vaelith termenung sejenak, matanya berkilau samar.
“Kalau semua kemungkinan sudah terjadi di cabang lain, bukankah itu berarti takdir sudah ditentukan dan kehendak bebas cuma ilusi?”
Profesor tersenyum samar, ekspresinya bijak.
“Itu paradoks filsafat quantum, kompatibilisme. Meski semua kemungkinan eksis, kehendak bebas tetap nyata, karena engkaulah yang menghidupi jalur ini. Cabang lain tak mengurangi bobot pilihamu, justru pilihanmu memberi arti pada cabang yang kau tempati.”
Di udara, Aetherion menciptakan labirin holografik yang terus bergerak dinamis, lorong-lorong bercabang tanpa henti. Selain itu di titik pusatnya, selalu ada satu pintu yang hanya bisa dipilih “sekarang”.
Sontak, sebuah jam saku antik muncul di udara.
Jarum-jarumnya bergerak maju dan mundur tanpa aturan.
Cahaya putih menari di sekitarnya.
“Apa itu?” tanyanya.
“Entanglement,” jawab Profesor pelan.
“Partikel yang saling terhubung di satu realitas dapat mempengaruhi di realitas lain secara instan. Jam ini melambangkan kemungkinan bahwa cabang-cabang paralel -meskipun terpisah- bisa saling merasakan.”
Aetherion menunjuk pada kupu-kupu virtual yang mengepakkan sayap, menyebabkan gelombang riak membuncah ke seluruh jaringan cahaya.
“Dalam teori chaos, satu gerakan kecil bisa mengubah dunia. Begitu pula pilihanmu, sekecil apa pun. Segalanya saling terkait.”
Vaelith tersenyum samar, matanya berkilau bagaikan mentari.
“Jadi, meskipun ada yang tak terhingga di dunia luar sana, realitas yang benar-benar berarti adalah realitas yang aku jalani sekarang ini. Setiap pilihan tetap penting.”
Profesor mengangguk dengan rasa bangga.
“Ya, Vaelith. Dan itulah inti kebijaksanaan quantum: percabangan mungkin tak terbatas, akan tetapi maknanya hanya tumbuh saat kita hidup di jalur yang kita pilih, bukan nasib.”
Cahaya hologram menipis perlahan, menyisakan ketenangan batin Vaelith.
Kini Vaelith menyadari bahwa realitas paralel bukan sebatas kemungkinan kosong, melainkan cermin dari tanggung jawabnya di saat ini sekaligus tantangannya.