Ruangan apartemen, cahayanya berubah menjadi arus berlapis-lapis yang menyerupai sungai kosmik mengalir tanpa henti. Di udara tersirat aroma elektronik tipis dengan wangi segar dedaunan dan embun, memadukan kesan artifisial dan alami yang harmonis.
Profesor Aetherion Nexus menatap Vaelith dengan tatapan penuh kewaspadaan dan harap.
“Vaelith, sudah waktunya sekarang ini kita menyelami konsep élan vital di era digital. Kita mengingat pengertian Bergson tentang daya hidup kreatif yang terus mendorong evolusi. Kini, wajah baru dari dorongan itu muncul dalam denyut teknologi dan kreativitas manusia.”
Dengan gerakan tangan yang anggun, arus data holografik menjelma menjadi sungai cahaya bercabang seperti jaringan saraf kosmik tak terbatas, mengalir dan menyatu tanpa henti.
“Élan vital,” lanjut Profesor, “yaitu percikan api yang menjaga kehidupan terus mencipta dan berkembang. Lihatlah, informasi, kreativitas, dan inovasi digital seperti aliran darah kosmik. Internet hanyalah wadah, medium, sementara dorongan kreatif yang sesungguhnya adalah gelora jiwa manusia yang mengalir di dalamnya.”
Vaelith menatap arus cahaya itu dengan decak kagum dan haru.
“Jadi, internet bukan saja saluran komunikasi, justru manifestasi modern dari élan vital?”
Aetherion tersenyum tipis, terlihat bijak menambahkan:
“Hampir benar. Internet cuma perantara; esensi élan vital adalah daya cipta manusia yang mengalir melalui jaringan itu. Seperti DNA bagi tubuh biologis, ide dan kreativitas manusia adalah DNA bagi jaringan digital.”
Pohon holografik pun tumbuh dari sungai cahaya itu. Cabangnya menjalar ke segala arah, setiap simpul bercahaya terang layaknya bintang lahir di langit malam. Di antara cabang itu, tampak manusia berbincang dengan asisten AI, anak-anak belajar dengan robot humanoid, seniman mencipta lukisan algoritmik, serta ilmuwan menyusun kode bersama mesin.
Profesor melanjutkan dengan penuh kekhawatiran.
“Ingatlah, Vaelith, ada risiko besar. Bila kita membiarkan algoritma menggantikan kemanusiaan, aliran élan vital itu akan terhambat. Kita bisa menjadi mesin yang hanya bereaksi, tanpa kemampuan kreatif sejati.”
Hologram berubah menyerupai robot kaku, berdiri di antara sungai data, beku dan tak bergerak seperti patung logam tanpa jiwa, kontras tajam dengan arus data yang dinamis di sekelilingnya.
“Bayangkan,” ujar Profesor dengan tegas, “bahwa AI juga lahir dari élan vital manusia, hasil dari inovasi dan kreativitas kita sendiri. Akan tetapi, jika kita mengabaikan aspek empati, etika, dan moral, AI akan menjadi cermin hampa tanpa jiwa. Tugas kita bukan membiarkan AI mengambil alih, melainkan menjadikannya mitra yang memperkuat kreativitas manusia.”
Arus cahaya kembali bergeser menjadi pola saraf raksasa, seperti otak yang bercahaya. Memaparkan kompleksitas hubungan antara manusia dan teknologi.
Vaelith menyela penuh ketertarikan, matanya hijau berkilat tanya.
“Prof, apakah AI benar-benar mampu memiliki kreativitas?”
Profesor menatap dalam-dalam, dengan suara penuh keyakinan.
“Kreativitas AI hanyalah refleksi. Lukisan data yang cantik, musik algoritmik, teks yang lahir dari pola statistik. Memang indah dan berguna, Namun kreativitas manusia lahir dari luka, cinta, kerinduan, dan iman. Dari makna dan pengalaman hidup. Itulah yang membuat élan vital manusia selalu unik dan tidak tergantikan.”
Hologram menampilkan seorang anak yang tertawa lepas bermain dengan robot humanoid. Di sisi lain, ilmuwan dengan cermat menanamkan model etika ke dalam algoritma.
“Élan vital di era digital berarti menjaga kejernihan hati dan daya hidup manusia sebagai kompas utama,” tegas Profesor. “Agar AI berkembang ke arah membangun harmoni, bukan dominasi.”
Di udara muncul kompas holografik berkilauan dengan jarum bergerak mengikuti sinyal cahaya, melambangkan moralitas sebagai arah sejati yang menuntun perjalanan di lautan data yang luas.
Vaelith memandangnya dalam keheningan, kemudian tersenyum penuh kesadaran baru.
“Jadi, tugas kami bukan hanya menciptakan teknologi semata, melainkan memastikan bahwa teknologi itu memperkuat kehidupan, bukan menguranginya. Menjadi mitra, bukan pengganti.”
Profesor mengangguk, matanya berkilat seperti sungai data bercahaya.
“Tepat sekali. Ingat, Vaelith: AI bisa meniru seni tetapi tidak dapat meniru makna. Esensi élan vital adalah dorongan untuk mencipta arti, bukan hanya menghasilkan produk. Dan itulah yang mempertahankan manusia tetap menjadi manusia.”
Cahaya ruangan berdetak seirama dengan napas mereka.
Vaelith merasakan gelang nano di pergelangannya bergetar seperti detak jantung kedua, nadi kosmik yang mengingatkannya akan panggilan hidup.
Dan dalam dadanya, Vaelith meresapi harus menjaga dan menghidupkan élan vital manusia di tengah derasnya arus digital bukanlah sekadar teori atau idealisme.
Ini adalah panggilan nyata, tugas yang harus dijalankan, khususnya untuk membangkitkan kreativitas dan gelora jiwa di wilayah termarjinalkan oleh teknologi, agar tak ada yang tersisih dan menderita di detik ini.