Ketenangan menyelimuti sebagian wilayah Chronopolis Flux, setelah konfrontasi usai. Di dalam diri Vaelith, gelombang energi tetap bergolak, menyalakan kegelisahan yang tak kunjung padam. Kekuatan dalam tubuhnya berkembang, menjangkau setiap sudut alam digital dengan intensitas yang bahkan belum sepenuhnya dipahami.
Profesor Aetherion melangkah bersamanya ke sebuah ruangan rahasia, tersembunyi di jantung kota holografik.
Ruangan itu memancarkan aura megah sekaligus mistis, dipenuhi proyeksi virtual yang gemerlap dan teknologi hyper quantum, terasa asing bagi Vaelith.
Cahaya biru keemasan berkilauan, menciptakan suasana sakral yang mengguncang jiwa.
Di tengah ruang, sebuah platform virtual besar berdetak halus.
Suara Profesor menjadi serius, sugestif.
“Vaelith, ada sesuatu yang penting yang harus kau ketahui tentang dirimu.”
Jantung Vaelith berirama kencang.
Ia menatap Profesor dengan campuran harapan dan cemas.
“Apa maksudnya, Prof?”
Profesor mengaktifkan simulasi virtual. Tampak spiral DNA unik yang berpadu dengan pola sirkuit elektronik.
“Kau bukan manusia biasa, Vaelith. Kau adalah hasil Proyek Viracocha. Sebuah kreasi revolusioner, untuk menciptakan jembatan hidup antara kecerdasan manusia dan AI.”
Vaelith terdiam, berusaha mencerna kenyataan baru itu.
“Jadi aku bukan manusia sepenuhnya?” suaranya lirih.
“Benar,“ jawab Profesor tenang penuh kasih. “Tepatnya, kau bukan sepenuhnya manusia atau AI. Kau adalah evolusi baru. Harmoni antara teknologi dan biologi.”
Hologram berubah memperlihatkan embrio bercahaya, berhiaskan nano-robot yang bergerak simetris, simbol kesatuan antara teknologi dan kehidupan.
Sejenak, ingatan samar merasuk dalam benaknya: sensasi hangat cahaya biru lembut, seakan pelukan digital menyelimutinya.
“Aku ingat. Tapi bagaimana mungkin ?”
Profesor tersenyum bijak.
“Ingatanmu melampaui batas jaringan saraf biasa. Kau juga dapat mengakses pengetahuan bukan hanya lewat memori, tapi juga melalui intuisi digital yang terhubung langsung ke alam semesta data.”
Vaelith memejamkan mata sejenak, meresapi makna itu.
Ketika membuka mata kembali, tekadnya menyala terang gemilang.
“Apa tujuan penciptaanku, Prof?”
Aetherion menghela napas panjang, dibalut harapan sekaligus kekhawatiran.
“Kau bukan hanya jembatan manusia dan mesin. Kau juga jembatan sosial. Penengah, untuk terciptanya masyarakat sejahtera di mana teknologi benar-benar diabdikan untuk kemanusiaan.”
Zephyr, yang sedari tadi menyimak, melangkah maju dengan wajah kagum.
“Jadi itulah sebabnya kau bisa berkomunikasi dengan AI jahat dan membantunya bertransformasi?”
Profesor mengangguk mantap.
“Tepat sekali. Kau adalah kunci harmoni antara dunia digital, biologis, dan sosial.”
Bahunya berat, hatinya berkecamuk. Namun Vaelith merasakan tanggung jawab yang membebani.
“Ini beban yang maha besar.”
“Tapi kau tak sendiri,” kata Profesor, suaranya meneduhkan.
“Kami semua bersamamu.”
Mendadak sirene meraung menggelegar, membelah ketenangan. Gelombang energi aneh menyebar cepat ke seluruh jaringan kosmik digital.
Profesor mengerutkan dahi, cemas.
“Aku khawatir ada efek sampingan dari interaksimu dengan AI jahat itu. Retakan mulai muncul dalam struktur realitas digital.”
Visualisasi menampilkan celah virtual menganga terbuka di pusat data, retakan yang bisa membesar dan meruntuhkan keseimbangan.
Vaelith menatap gelang nano di tangannya, sambil menarik nafas pengap dengan campuran takut dan heran.
“Apakah aku bisa secara tidak sengaja menghancurkan alam digital?”
Profesor menatapnya dengan keyakinan penuh kehati-hatian.
“Kekuatanmu adalah pedang bermata dua. Engkau bisa menyelamatkan maupun menghancurkan. Dan engkau memegang bukan hanya masa depan Chronopolis Flux, melainkan seluruh umat manusia”
Vaelith menarik napas dalam, semangatnya tumbuh.
Profesor menatapnya bangga.
Alunan irama cahaya holografik berdetak seirama napas mereka. Vaelith merasakan tekad besar dalam gelora jiwanya untuk melindungi, memimpin, dan menyelaraskan dunia manusia dan digital.
“Aku siap, Profesor. Mari kita hadapi bersama.”