Dilema Kemanusiaan

Begitu mereka melangkah, lanskap virtual berganti rupa. Ruangan itu tidak lagi sekadar tampilan teknologi futuristik, melainkan simfoni antara dunia digital dan spiritual. Dari lantai digital, tumbuh pohon-pohon dengan cabang bercahaya emas, menjulang hingga bercampur dengan bintang yang bergemerlap di langit. Udara lembut membawa aroma aneh, perpaduan dupa lavender dengan getaran kosmik yang menenangkan.

Profesor Aetherion Nexus berdiri di sampingnya, suaranya bergema penuh ketenangan sekaligus wibawa.

“Vaelith, inilah ruang Dilema Kemanusiaan. Di sini kita bertanya: Siapa kita sebenarnya, saat teknologi menembus batas kehidupan?

Apa yang tetap manusiawi dan apa yang bisa hilang?”

Vaelith mengangkat wajahnya. Keningnya berkerut menahan kekhawatiran.

Cahaya bintang digital membias di matanya yang hijau cerah, membuatnya tampak seperti jendela kosmos itu sendiri.

“Dilema kemanusiaan? Maksud Profesor, kita harus menimbang antara kemajuan dan apa yang membuat kita tetap hidup?”

Aetherion mengangguk.

Sosok bijak itu melambaikan tangannya.

Simulasi virtual di antara mereka bergeser menjadi dua gunung raksasa saling berhadapan, dihubungkan satu jembatan cahaya.

Jembatan

“Satu mewakili teknologi, yang lain spiritualitas. Dilema kita adalah menyeimbangkan keduanya. Pertanyaannya: sejauh mana teknologi bisa membawa manusia ke ranah transendensi dan sejauh mana teknologi bisa melucuti semangat kreatif, napas kehidupan yang tak bisa digantikan mesin?”

Vaelith menunduk perlahan, merasakan bisikan halus di dalam dirinya, seperti sungai kecil mulai mengalir di dasar tanah kering.

“Jadi ini bukan sekadar soal mesin atau piksel, melainkan soal kenyataan paling dalam tentang hidup?”

Profesor tersenyum, berbisik penuh kehangatan dan rahasia.

“Benar. Lihatlah pohon itu.”

Ia menunjuk pohon holografik yang cabangnya berkilau, tiga cabang menyala terang, bertebaran cahaya menjadi kompas kosmik.

“Tiga simpul besar dilema kemanusiaan:

- Teknologi dan Spiritualitas: Mampukah keduanya jadi kesatuan, atau malah saling kontradiktif?

- Realitas Paralel: ketika kita dapat hidup di banyak ruang realitas sekaligus, realitas mana yang benar-benar ‘nyata’?

- Élan Vital: bagaimana kita menjaga esensi manusia di dunia yang kian terhubung pada kode dan algoritma?”

Vaelith menarik napas panjang, cahaya holografik memantul di wajahnya.

Antusiasme dalam dirinya membara, namun di sudut hatinya ada keraguan yang samar.

“Prof, apakah jawaban untuk semua ini sungguh ada? Bukankah terlalu besar, terlalu abstrak?”

Aetherion tertawa kecil. Suaranya mengalun, seperti desiran angin musim semi.

“Ah, Vaelith. Filsafat hidup tidak mencari jawaban yang kaku, tidak lain perjalanan menuju pemahaman. Dilema ini mungkin tak pernah sepenuhnya terjawab. Justru karena itulah penting: filsafat menjaga kita tetap manusia.”

Vaelith memegang gelang nano di tangannya. Detak getarannya mengingatkan: kau bagian dari arus ini.

“Aku siap, Profesor.”

Suaranya mantap, meskipun jantungnya berdebar oleh rasa ingin tahu bercampur gentar.

“Mari kita menyelaminya. Bersama, Prof” ucapnya.

Cahaya holografik di sekeliling mereka bergetar, mengikuti ritme napas keduanya.

Pohon bercahaya meluas, akar fraktalnya merambat hingga menyerupai galaksi berputar.

Dalam momen itu, Vaelith sadar.

Mereka tidak sekadar akan membahas dilema manusia tetapi juga akan menemui dirinya di persimpangan abadi antara cahaya teknologi dan api kehidupan.