Visi Masa Depan

Society 5.0

Portal waktu bersinar-sinar seperti matahari di cakrawala. Vaelith merasakan tubuhnya tenggelam ke dalam arus energi murni, sensasinya seperti menyelam ke lautan cahaya yang berirama selaras dengan ritme kosmik.

Ketika Vaelith kembali menjejak, pandangan matanya disambut oleh kota yang menakjubkan.

Society 5.0

“Wow!” desahnya, penuh kagum terperana.

Gedung-gedung menjulang seperti organisme hidup, fasadnya berubah-ubah seperti kulit bunglon, mencerminkan emosi warga secara real-time.

Jalanan sunyi tanpa bising mesin.

Kendaraan tanpa pengemudi meluncur mulus, udara segar bagai pegunungan.

Meresap lembut wanginya lavender, kayu manis, dan semilir laut memenuhi indera.

Profesor Aetherion tersenyum.

“Selamat datang di Society 5.0, Vaelith. Di sini, teknologi bukan penguasa manusia, melainkan pasangan yang menari bersama kreativitas dan nilai-nilai kemanusiaan.”

Mereka melangkah melalui trotoar yang bergerak otomatis, melewati taman hijau penuh sensor tak terlihat.

Pohon asli tumbuh beriringan dengan flora virtual yang bercahaya lembut, menciptakan ekosistem hibrida unik. Anak-anak berlarian sambil berinteraksi dengan satwa punah virtual, belajar ekologi melalui permainan yang hidup.

“Lihatlah ke sana,” tunjuk Aetherion ke arah rumah sakit transparan.

Dari balik dinding kaca, Vaelith melihat robot bedah dan dokter manusia bekerja berdampingan.

Gerakan mereka sinkron bagai dua instrumen dalam simfoni.

“Luar biasa!” bisiknya, perlahan keraguan merayap di suaranya.

“Bukankah ada sesuatu yang hilang ketika mesin menggantikan peran manusia? Nada suaranya jengkel. Apakah teknologi tidak justru mengikis sentuhan batin?”

Aetherion menoleh sambil melambaikan tangan.

Hologram simbol hati dan mikroprosesor muncul, dihubungkan jembatan cahaya.

“Justru sebaliknya. Teknologi di sini memperkuat kemanusiaan. Bahkan memperbesar daya cipta, bukan menguranginya.”

“Bukankah ini bentuk ketergantungan juga?” tanyanya hati-hati.

“Apa jadinya kalau manusia menyerahkan segalanya pada mesin?” lanjutnya.

Profesor tersenyum, mata peraknya memantulkan cahaya neon.

“Society 5.0 bukan tentang menyerah, melainkan sebuah model baru di mana teknologi berfungsi sebagai penguat kebebasan.”

Tak disangka, dikejauhan, seorang pelukis menari dalam studionya.

Setiap gerakannya mewujudkan sapuan warna holografik, melayang di udara, berpadu dengan musik ambient yang mengikuti napasnya. Kanvas kosong diisi oleh aliran tubuh. Kreativitas manusialah yang menuntun teknologi, bukan sebaliknya.

Vaelith tersenyum, mulai mengerti bertanya.

“Jadi bukan sekadar simbiosis, melainkan harmoni, ya?”

“Tepat sekali,” jawabnya sambil mengangguk. “Society 5.0 lahir untuk memastikan bahwa kompleksitas manusia; emosi, intuisi, spontanitas, tidak hilang. Justru teknologi membantu menjaganya.”

Mereka melewati plaza besar, layar-layar proyeksi cahaya membentang seperti jendela kesadaran kolektif.

Di antara bayang-bayang gedung, terdengar suara menggema dari kejauhan.

Sorak demonstrasi menggelegar, bagaikan petir mengguncang langit!

Masyarakat sipil protes menuntut reformasi dan keadilan digital.

Spanduk-spanduk di tangan mereka.

“Teknologi untuk semua, bukan hanya elite!”

“Keadilan digital sekarang, bukan janji esok!”

“Jangan biarkan kami terasing di Society ini!”

Seorang emak-emak dengan suara lantang berkata kepada kamera jurnalis:

“Kami juga bagian dari kota ini, bahkan seolah hilang di balik cahaya gemerlap. Akses kami terbatas, suara tertutup algoritma, dan data kami dijual tanpa izin.”

Seorang pemuda, menyautnya dengan lantang:

“Kami tidak ingin sekadar jadi penonton di kota pintar. Kami ingin ruang untuk berkembang, bukan cuma menerima sisa-sisa teknologi.”

Seorang peserta demo lainnya menambahkan, “Ketergantungan pada mesin tanpa kontrol sosial hanya memperlebar jurang. Kita harus bangun transparansi, akses, dan kontrol bersama.”

Di tengah tekanan demonstrasi itu, pemerintah merespons untuk mengadakan dialog dan rencana peningkatan akses digital yang lebih merata.

Melihat kejadian itu, jiwanya meronta pilu: “Ini bukan cuma visi indah, ini tantangan nyata yang harus kita jawab, Profesor. Visi Society 5.0 akan menjadi utopia bila mereka yang terpinggirkan tidak ikut hadir dalam arus ini.”

Profesor mengangguk penuh keprihatinan.

“Ketimpangan dan ketidakadilan harus jadi bahan bakar untuk perbaikan, bukan alasan menghentikan kemajuan, Vaelith”

Mereka terus berjalan, menelusuri tepi sungai bergemerisik air bak menghantam bebatuan.

Di udara, drone logistik melayang, menghantar makanan tepat waktu. Panel surya yang mengapung tanpa mencemari, membawa janji bahwa inovasi bisa menjadi jawaban atas krisis manusiawi, hadir dengan keadilan dan kesadaran kolektif.

Sambil memandang ke atas, menggrutu: “Wah, itu drone Go Food ya, Prof?”

"Hah, Go Food?" sambut Profesor jaim, seolah mencoba menjaga wibawa akademiknya. “Bukan hanya efisiensi, Vaelith.” suaranya mengalun penuh tenaga, “Society 5.0 adalah bagaimana manusia dan mesin saling mendengarkan. Beginilah masa dimana evolusi teknologi menjadi evolusi batin.”

Di bawah langit yang perlahan memudar ke malam, Vaelith menarik napas dalam. Tugasnya tidak hanya menjaga harapan, bahkan memastikan suara-suara yang terlupakan di seluruh lapisan kota layak terpenuhi.

Vaelith tertegun reflektif.

Gelang nano di tangannya berdenyut lembut, seirama dengan optimismenya yang tumbuh.

Pengalamannya di Society 5.0 bukan sekadar visi masa depan, akan tetapi peta jalan, arah yang ia bawa kembali ke masanya.

Dengan tatapan yang lebih mantap, Vaelith melangkah lagi menuju cahaya portal.

Kali ini dengan kesadaran baru.

Harmoni antara teknologi dan kemanusiaan bukan utopia; itu mungkin, bila manusia memilih dengan bijak. Bersama kaum yang rentan dan terpinggirkan, partisipatif langsung dan inklusif untuk kesejahteraan yang berkeadilan.

Dan ia pun merasa, tugasnya lah untuk menjaga pilihan itu tetap hidup.

Cahaya emas kembali membungkusnya, membawa pelajaran Society 5.0 bersama denyut nadi kesadaran kolektifnya.